PEMBERANTASAN
PENYAKITERA KOLONIAL(AWAL ABAD 20 – 1945)
Pemberantasan penyakit
menular yang dijalankan pada eraKolonial merupakan upaya preventif yang
mencakup beberapapenyakit, sebagai berikut.
CACAR
Pada tahun 1804, untuk
pertama kalinya penyakit cacar berjangkit di Batavia. Penyakit itu berasal
”Isle de France” (Mauritius), yang masuk Batavia dengan perantaraan para anak budak
belian, berusia 6–12 tahun, penyakit itu terbawa sampai Batavia.Untuk mencegah
penyebaran penyakit tersebut, vaksinasi pun mulai diberikan. Awalnya, vaksinansi
cacar hanya diberikan bagi penduduk pribumi yang sehari-hari bergaul dengan
orang Eropa. Namun pada akhirnya, vaksinasi juga diberikan kepada mereka yang
tidak menolak pemberian vaksinasi.
Pada September 1811 –
Maret 1816, Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles, salah satu pemimpin
Inggris yang berkuasa saat itu, mulai mengembangkan wilayah pemberian vaksinasi
cacar di daerah Jawa. Saat itu, pemberian vaksinasi cacar telah dilakukan oleh
juru cacar pribumi, yang telah dididik di beberapa rumah sakit tentara.
Pada tahun 1820, Peraturan Jawatan
Kesehatan Sipil (Reglement voor den BGD) ditetapkan. Bersamaan dengan itu,
Peraturan Pelaksanaan Vaksinasi Cacar (Reglement op de uitoefening der
koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie) juga dikeluarkan, yang isinya:
1.
Seluruh usaha vaksinasi
ditempatkan di bawah seorang Inspektur;
2. Di
setiap karesidenan diangkat seorang pengawas (opziener), sedapat-dapatnya
dokter setempat;
3. Pengawas
tiap minggu harus memberi vaksinasi di tempat kedudukannya dan sekitarnya;
4. Untuk
tempat-tempat yang jauh dari tempat kedudukan pengawas, digunakan juru cacar
(vaccinateur) pribumi, yang sebelumnya dididik oleh pengawas;
5. Tiap
bulan pengawas harus mengirimkan laporan kepada residen dan inspektur, dan tiap
enam bulan memeriksa hasil pekerjaan para juru cacar;
6.
Inspektur bertanggung
jawab atas pengiriman bibit cacar keseluruh karesidenan.
Bibit cacar yang
tadinya didatangkan dari Eropa, kini mulai dibuat sendiri. Untuk mendukung
pembuatan bibit cacar sendiri, maka di tahun 1879, ”Parc vaccinogene” didirikan
di daerah Batu Tulis, Jawa Barat.Di tahun 1884, ketika dr. A. Schuckink Kool
berhasil membuat vaksin di Meester Cornelis (Jatinegara), dengan menggunakan
sapi sebagai tempat pembiakan. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pemerintah
Hindia Belanda, 6 Agustus 1890, tentang pendirian Parc Vaccinogen atau
Landskoepok Inrichting di Rumah Sakit Tentara Weltevreden-Batavia, maka lembaga
pembuatan vaksin dipindah ke Batavia. pada tahun 1896 didirikan Parc Vaccinogen
Instituut Pasteur, Bandung. Dengan berdirinya Institut tersebut, maka di tahun
1918, lembaga pembuatan vaksin cacar dipindahkan ke Bandung, bersatu dengan
Instituut Pasteur, dan berubah nama menjadi Landskoepok Inrichting en Instituut
Pasteur. Seiring dengan perkembangan pembuatan vaksin, di tahun 1926, Dr. L.
Otten berhasil menyempurnakan pembuatan vaksin, dari larutan dalam gliserin
menjadi vaksin kering in vacuo.
KUSTA
Pada tahun 1655,
Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan leprozerie di Kepulauan Seribu
(Teluk Jakarta), sebagai tempat penampungan para penderita kusta. Sesuai dengan
cara yang diterapkan di Eropa saat itu, maka di tahun 1770 Pemerintah Hindia
Belanda menetapkan peraturan
pengasingan bagi penderita kusta
yang ada di daerah konsolidasinya. Sampai dengan pertengahan abad 19,
Pemerintah Hindia Belanda telah mengembangkan leprozerie di berbagai
daerah,seperti Ambon, Banda, Ternate, Manado, Gorontalo, Riau, Bangka, dan
Bengkulu.
Namun pada tahun 1865,
Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan yang menyatakan bahwa penderita
penyakit kusta dianggap tidak menular. Dengan adanya surat keputusan itu, maka
para penderita kusta tidak boleh dipaksa masuk leprozerie. Mereka diberi
kebebasan memilih untuk tetap tinggal dalam liprozerie atau meninggalkannya.
Berdasarkan hasil kongres Lepra
pertama di Berlin (Jerman), di tahun 1897 peraturan pengasingan paksa
diterapkan kembali. Kongres tersebut menyatakan bahwa lepra adalah penyakit
menular. Atas dasar itu, Pemerintah Hindia Belanda kembali membangun liprozerie
bagi penderita kusta. Namun di tahun 1932, peraturan pengasingan paksa di
leprozerie dihapus oleh Dr. J. B. Sitanala, yang saat itu menjabat sebagai
Kepala Dinas Pemberantasan Kusta. Ia bertindak atas referensi pemberantasan
penyakit kusta di Norwegia. Pertimbangan lainnya, penerapan sistem tersebut di
Filipina dan Hindia Barat tidak membawa hasil memuaskan. Sebagai gantinya, Dr.
J. B. Sitanala menerapkan sistem ”tiga langkah” sebagai upaya pemberantasan
kusta, yaitu ekplorasi, pengobatan, dan pemisahan.
Eksplorasi, merupakan tindakan
untuk mendapatkan data terpercaya di tiap daerah, termasuk data untuk
mengetahui sikap masyarakat terhadap penyakit kusta. Eksplorasi ini menjadi
awal dari surveilans penyakit kusta.
Pengobatan, merupakan
tindakan pemberian obat berdasarkan hasil eksplorasi. Pengobatan dilakukan di
poliklinik kusta, yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal penderita.
Sekali seminggu, para penderita kembali mengunjungi poliklinik untuk mendapat
pengobatan.
Pemisahan, merupakan
tindakan pemisahan penderita kusta dari lingkungannya, tanpa paksaan. Pemisahan
dilakukan dengan menempatkan penderita kusta dalam rumah tersendiri, yang masih
berada dalam lingkungan keluarga.
Penerapan sistem ”tiga
langkah” ini tidak otomatis menutupakses sistem leprozerie.
Penampungan di leporozerie tetap
dilakukan dengan tanpa paksaan (sukarela). Sampai dengan tahun 1940, sebanyak
47 liprozerie telah tersebar di seluruh wilayah Hindia Belanda, dihuni 4955
penderita kusta.
MALARIA
Pemberantasan penyakit
malaria di Indonesia mulai menemukan titik terang, ketika di tahun 1882 Laveran
berhasil menemukan plasmodium malarie sebagai penyebab penyakit malaria, dengan
penularan melalui nyamuk. Di tahun 1911, Jawatan Kesehatan Sipil didirikan
sebagai bentuk upaya penyelidikan dan pemberantasan penyakit malaria. Pada
tahun 1924, Biro Malaria Pusat (Centrale Malaria Bureau) didirikan. Dalam
menjalankan fungsinya, Biro Malaria Pusat selalu bekerja sama dengan Bagian
Penyehatan Teknik (Gezondmakingswerken). Pada tahun 1929, Biro Malaria Pusat
mulai mendirikan cabang di Surabaya, dengan fokus pelayanan kepulauan bagian
timur. Sedangkan untuk wilayah seluruh Sumatera, pelayanandilakukan oleh cabang
Medan.
Para mantri malaria
ditugaskanuntuk menentukan jenis nyamuk dan jentik, memeriksa
persediaan darah, mengadakan
pembedahan lambung nyamuk, serta membuat peta wilayah. Penerapan riset sebagai
upaya pemberantasan malaria juga dilakukan dengan pembunuhan dan pencegahan
berkembangnya jentik di sarang-sarang, pembunuhan nyamuk dewasa dengan asap,
obat nyamuk, penggunaan kelambu/kasa nyamuk pencegah kontak antara manusia
dengan nyamuk serta kininisasi dalam epidemi.
Penerapan riset yang
berdasarkan penyelidikanyang tepat terhadap biologi nyamuk penyebab malaria,
maka dapat ditemukan berbagai pola pemberantasannya. Pemberantasan malaria di
pantai, dapat dilakukan dengan cara Species-assaineering. Pertama, membuat
tanggul sepanjang garis pantai. Tinggi tanggul dibuat melebihi tinggi air laut
saat pasang, begitu juga pada tanah di belakang tanggul. Cara kedua, yaitu
dengan membuat sebuah saluran. Saluran ini dibuat mulai dari muara sungai
sampai melewati batas pemecah gelombang air laut. Cara lain yang bisa dilakukan
adalah dengan pembagian kinine, penggunaan kelambu/alat pembunuhan nyamuk, pemberian
minyak tanah di sarang nyamuk, penempatan kandang kerbau di antara rumah
tinggal dan sarang nyamuk, serta pemeliharaan tambak secara higienis.
Pemberantasan malaria
di daerah pedalaman,beberapa cara yang dapat dilakukan adalah seperti berikut :
1.
Menghadapi An. ludlowi tawar
di kolam-kolam ikan, yaitu dengan menembus tanggul untuk mengeluarkan airnya
danmerubah kolam ikan menjadi sawah
2. Cara
biologis, yaitu dengan memasukkan ikan tawes dan ikan kepala timah dalam kolam
3. Memberantas
An. aconitus, An. minimus, dan An. Macolatus(biasa ditemukan di tempat yang
rendah, saluran air yangkurang terpelihara, dan persawahan) dilakukan
carapemeliharaan saluran air (saluran air masuk maupunpembuangan) secara baik,
sehingga tebingnya terbebas daritumbuh-tumbuhan; penanaman padi secara serentak
dipersawahan yang pengairannya tergantung dari satu saluran air yang sama
mengeringkan sawah yang tidakdigarap dalam dua masa penanaman
4.
Khusus An. maculatus,
digunakan cara biologis denganmenanam tepi aliran/anak sungai dengan
tumbuhtumbuhanyang rindang. Cara ini berguna untuk menutupiair dari cahaya dan
sinar matahari (cara yang lebih murahdari pada ”subsoil drainage” dan ”hillpoot
drainage”).
SAMPAR/PES
Pada Maret 1911, kasus
sampar pertama ditemukan di daerah Malang. Penemuan ini memperkuat dugaan
adanya penyakit sampar di Jawa Timur, yang ternyata benar. Penyakit sampar telah
meluasdi Kabupaten Malang, kemudian menjalar ke barat melalui Kediri, Blitar,
Tulungagung, dan Madiun. Saat itu rantai penularan antara tikus, pinjal, dan
berupa hipotesis. Dengan bukti yang cukup, diketah hubungan antara sampar tikus
dan sampar manusi pemberantasan difokuskan pada pemutusan jarak hubungan/kontak
antara manusia dengan tikus.
Pada tahun 1915, Dinas
Pemberantasan Pes dibentuk untuk memutus kontak antara manusia dengan tikus.
Dinas Pemberantasan Pes, 1916 samping usaha perbaikan rumah, pemberian vaksin
Haffkin hasilnya tidak memuaskan, pada vaksinasi berikutnya vaksin Otten (mulai
tahun 1934), yang ternyata dapat menurunkan 20 % angka kematian dari angka
semula.
FRAMBUSIA
Di zaman pejajahan,
penyakit Frambusia (patek) dapat dikatakan sebagai penyakit rakyat, karena
diderita oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Pemberantasan dilakuakan dengan
memberi suntikan Neosalvarsan, sebagai pengobatan penderita frambusia yang
ternyata berhasil memberikan peyembuhan. Meskipun harus membayar mahal pendrita
frambusia berkumpul disuatu tempat yang akan didatangi oleh dokter sekali
seminggu untuk memberikan pengobatan.Upaya pemberantasan frambusia secara
teratur mulai dilakukanpada tahun 1934, atas prakarsa dr. Kodiyat, seorang
dokterKaresidenan Kediri.
Di awal kemerdekaan,
pemberantasan dilakukan dengan carapemberian obat Penicillin bagi penderita.
Setelah itu, pengobatan frambusia mulaimenggunakan sistemTreponematosis
Control Programme Simplified (TCPS), yang secara bertahap telah mencakup
seluruh wilayah tanah air.Meski belum merata, namuntelah mencapai hasil
sangatmemuaskan.
Penyakit Kolera mulai
dikenal pada tahun 1821. Penyakit ini termasuk penyakit sangat akut. Namun
sampai dengan tahun 1860, sifatnya yang menular atau tidak, masih
diperdebatkan. Setiap kali kolera mewabah, maka vaksinansi massa dan penyuluhan
higiene akan diadakan. Tahun 1911, vaksin kolera mulai dibuat oleh Nyland.
Meski vaksin sudah diproduksi, sampai dengan tahun 1920, penyakit kolera tetap
mewabah setiap tahun. Antara tahun 1920 – 1927 tidak ada laporan wabah. Wabah
terakhir terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1927.
TRACHOMA
Antara tahun 1926 –
1928, dilakukan penyelidikan prevalensi trachoma. Hasilnya, ditemukan beberapa
daerah terjangkit, yang menjadi sarang penyakit tersebut. Berdasarkan temuan
tersebut, pada tahun 1928 mulai diadakan pemberantasan penyakit Trachoma di
daerah Tegal. Di tahun 1932, tercatat 16 poliklinik mata di Kabupaten Tegal dan
Pemalang.
TUBERKULOSIS
Penyakit Tuberkulosis
telah lama dikenal dengan berbagai sebutan, seperti ”batuk darah”, ”batuk
kering”, dan sebagainya. Bagi penderita tuberkulosis yang mampu, perawatan
diberikan di tempat peristirahatan, yang dinamakan ”sanatorium”.Tempat
peristirahatan ini terletak di daerah pegunungan, dengan anggapan iklim pegunungan
berpengaruh baik bagi kesehatan penderita. Dari waktu ke waktu, banyak orang menganggap
bahwa tuberkulosis bukan masalah penting bagi Indonesia, negeri yang
bermandikan cahaya matahari dengankehidupan alam terbuka.
Di tahun1917,dibentuk
suatu panitia khusus,yang bertugas menyelidiki
jumlah penduduk pribumi yangmenderita penyakit tuberkulosis dan
paru-paru. Pada Oktober 1918, didirikan suatu badan swasta berbentuk yayasan,
yang mendapat bantuan tenaga dan keuangan dariPemerintah. Yayasan itu bernama
”Stichting der CentraleVereeniging tot Bestrijding der Tuberculose” (SCVT).
Rencananya,yayasan ini akan mendirikan sanatoria, mengusahakanperawatan
penderita di rumah, dan higiene sekolah sebagaiupaya pemberantasan penyakit
ini.Sampai dengan tahun 1930, belum ada langkah sistematis sebagai upaya
pemberantasan tuberkulosis. Sampai akhir penjajahan Belanda, telah tersebar
poliklinik parudi 20 ibu kota karesidenan.
HIGIENE DAN SANITASI
Pembentukan badan
“Higiene Commissie” (Panitia Higiene) pada tahun 1911 di Batavia. Badan
initelah melakukan beberapa hal, seperti pemberian vaksinasi massa secara
besar-besaran, penyediaan air minum, serta penganjuran untuk memasak air atau
membubuhi air dengan kaliumpermanganaat, yang telah disediakan dengan cuma-cuma.
Usaha higiene saat zaman penjajahan Belanda telah dirintis oleh dr. W. Th. de
Vogel, yang berpengalaman sebagai dokter di Kota Semarang. Langkah nyata mulai
dilakukan di tahun 1924, dengan di tahun 1924, dengandibentuknya Dinas Higiene.
Sebagai langkah pertama, dinas ini melakukan “pemberantasan cacing tambang” di
wilayah Banten.
Upaya pemberantasan
dengan sistem higiene ini diprakarsai oleh dr. J. L. Hydrick dari Rockefeller Foundation
(tahun 1924 – 1939). Lambat laun, pemberantasan cacing tambang semakin
berkembang, dan dikenal istilah “medisch
hygienische propaganda”.
Propaganda ini ditujukan tidak hanya untuk pemberantasan cacing tambang,
tetapi juga pemberantasan penyakit perut lainnya, dengan cara penyuluhan di
berbagai sekolah dan pengobatan bagi anak sekolah yang menderita sakit.
a. Dalam
kedudukannya, Dinas Higieneterpisah dari Dinas Kuratif. Namun daalam
pelaksanaannya, kerjasama erat mencakup beberapa program tetap dilakukan keduanya,
seperti :
2. Tindakan
kekarantinaan, seperti isolasi, observasi, desinfeksi, penyidikan epidemiologi,
dan tindakan perlindungan lainnya, saat menghadapi wabah (penyakit yang
termasuk kedalam ordonasi epidemic)
3. Tindakan
preventif terhadap penyakit-penyakit rakyat, seperti membangun assainering/penyehatan
terhadap malaria, pembuatan kakus terhadap penyakit cacing tambang dan penyakit perut laiinya (terhadap
pengamatan dan penyuluhan penggunaannya), pengawsan air minum (termasuk
pengawasan terhadap perusahaan es, minuman dan susu)
4. Mengadakan
kursus dukun, sebagai upaya menghadapi
banyaknya kasus kematian bayi dan anak
5. Pendidikan
kesehatan bagi rakyat, termasuk pemberian kursus untuk guru sekolah dan
perkumpulan wanita.
ERA AWAL KEMERDEKAAN
DAN DEMOKRASI TERPIMPIN (1945 – 1965)
Era Demokrasi Terpimpin di Indonesia
ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Dengan adanya
dekrit tersebut, maka pada 10 Juli 1959, Kabinet Kerja Pertama dibentuk, dengan
Kolonel Prof. Dr. Satrio sebagai Menteri Muda Kesehatan.Pada era ini, berbagai
lembaga kesehatan, terutama di bidang pemberantasan penyakit, telah berdiri dan
tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut, antara lain
Lembaga Eijkman (Jakarta), Lembaga Pasteur (Bandung), Lembaga Pemberantasan
Penyakit Malaria (Jakarta), Lembaga Pemberantasan Penyakit Kelamin (Surabaya),
Lembaga Pemberantasan Penyakit Rakyat (Yogyakarta), Lembaga Pemberantasan
Penyakit Pes (Bandung), serta Lembaga Pemberantasan Penyakit Mata (Semarang).
Prinsip kebijakan kesehatan pada masa
Demokrasi Terpimpin ditujukan pada beberapa usaha, yaitu :
1. Memberi
landasan hukum yang lebih kuat bagi segenap peraturan-peraturan kesehatan
2. Memperbanyak
pendidikan tenaga kesehatan, baik dokter maupun tenaga paramedik
3. Menyelenggarakan
pembaharuan kebijaksanaan perumahsakitan, balai pengobatan, dan sejumlah BKIA
4. Menentukan
kebijaksanaan mengenai kefarmasian menggiatkan penggunaan obat-obatan asli
serta pendirian pabrik-pabrik obat nasional, seperti ABDI, PAPHROS
5. Pembasmian
malaria dengan membentuk KOPEM
6. Mengintensifkan
pemberantasan penyakit Frambusia
7. Menunjang
penyelesaian Trikora dan Dwikora dengan menyediakan tenaga medik, paramedik,
dan peralatan
8. Perbaikan
gizi masyarakat melalui Revolusi Makanan Rakyat dan Operasi Komando Buta Gizi
9. Penyelenggaraan
Rombongan Kesehatan Indonesia (RKI) untuk pemeliharaan kesehatan jemaah haji
10. Pembinaan
usaha-usaha kesehatan swasta
11. Pembentukan
Badan Pelindung Susila Kedokteran
12. Perkembangan
Kesehatan Olah Raga, berhubungan dengan akan adanya Asian Games dan Game of the
NewEmergingForce (GANEFO).
PERIODE DITJEN KRIDA NIRMALA – DITJEN P4M
Pada tahun 1965, organisasi Departemen
Kesehatan mengalami perubahan mendasar, yaitu dengan dibentuknya beberapa
direktorat jenderal (Ditjen) sebagai unit pelaksana teknis (UPT), yang
sebelumnya tidak ada dalam struktur organisasi Departemen Kesehatan.Menteri
Kesehatan kemudianmengangkat dr. R.E.M. Suling menjadi Direktur Jenderal
KridaNirmala, menggantikan dr. Marsaid, walau hanya dalam jangkawaktu singkat.
Setelah itu, Prof. Dr. J. Sulianti Saroso diangkatuntuk menduduki jabatan
tersebut. Bersamaan dengan itu,Direktorat Jenderal Krida Nirmala berganti nama
menjadiDirektorat Jenderal Pencegahan, Pembasmian, danPemberantasan Penyakit
Menular (Ditjen P4M).
SAMPAR/PERS
Pada akhir tahun 1910, penyakit
sampar/pes mulai menyebar diIndonesia. Penyakit ini, selama kurang lebih 40
tahun, telahmenyerang sekitar 240 ribu orang di Pulau Jawa.Penyakit pes
menyebar di wilayah Nusantara melalui alatangkutan laut (kapal). Selain
mengangkut beras, ternyata di ataskapal juga berkeliaran tikus-tikus yang
terjangkit penyakit pes. Penyakit ini
pertama kali berjangkit di Pelabuhan Surabaya, kemudian menyebar ke daerah
Pasuruan, Malang, Kediri, Madiun, Surakarta, Boyolali, Magelang, dan
Yogyakarta. Pada tahun 1919, penyakit ini menyebar ke wilayah Jawa Tengah melalui
Pelabuhan Semarang. Pemberantasan penyakit pes menggunakan racun serangga
berupa ”DDT Spraying” mulai dilakukan tahun 1952 dan membawa hasil yang sangat
memuaskan. Di akhir tahun 1960 dan di tahun 1961 tidak lagi dilaporkan adanya
kasus pes.
KOLERA
Untuk mengatasinya, berbagai upaya telah
dilakukan Pemerintah Indoneisa, antara lain dengan pemberian vaksin TCD (typhus,cholerae,
desentry) kepada anggota Angkatan Perang dan anakanak sekolah, sebagai
upaya pengebalan di tahun 1950. Pada tahun 1957 ditemukan Vibrio Eltor di
Makassar. Penemuan oleh Tanamal ini terjadi saat penyakit kolera sedang kembali
berjangkit di Makassar dan Jakarta, yang dikenal dengan peristiwa Enteries
Choleroformis. Di tahun 1961, kolera juga mewabah di Semarang, hingga menimbulkan
kematian. Untuk itu, di tahun 1962, cholera eltormasuk dalam UU Nomor 6
tahun 1962 tentang Wabah. Artinya, penyakit ini harus segera diberantas, jika
mewabah. Dengan kemajuan teknologi kesehatan, pemberian kekebalan dilakukan
dengan menggunakan vaksinasi Chotipa (cholera,typhus, dan parathypus),
yang dikenal dengan istilah pemberian ”Ring Vaksinasi”.
CACAR
Penyakit ini bermula dari
Singapura/Malaka, menyebar ke Sumatera dan pulau lainnya di Indonesia, seperti
Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara, melalui lalu lintas darat dan laut. Untuk
mencegah penyebaran penyakit cacar, maka pada tahun 1951 pencacaran massal dilakukan
di Pulau Jawa, Sumatera, dan pulau-pulau lain di Indonesia. Upaya ini (Smallpox
EradicationProgramme) dikembangkan sejalan dengan kebijakan global dunia,
melalui WHO, untuk membasmi penyakit cacar. Pembasmian dimungkinkan, karena
penyakit cacar tidak mempunyai vektor penyakit. Selain itu, vaksin cacar yang
sangat efektif juga telah dihasilkan oleh Bio Farma. Dengan ditemukannya vaksin
cacar, maka pada tahun 1972, Pemerintah Indonesia berhasil membasmi penyakit
tersebut. Dengan keberhasilan itu, di tahun 1974, Indonesia dinyatakan bebas
cacar oleh WHO.
TUBERKULOSIS
Upaya pemberantasan penyakit
Tuberkulosis pada jamanpenjajahan Belanda telah dilakukan oleh Stichting
CentraleVereniging voor de Tuberculose Bestrijding (SCVT) di tahun 1918,
dengan mendirikan lima sanatorium dan 20 biro konsultasi. Pada era 1950,
diketahui adanya vaksin yang dapat memberikan kekebalan tubuh terhadap kuman
penyakit penyebabntuberkolusis. Vaksin tersebut adalah vaksin BCG. Dengan
adanya vaksin itu, pada Oktober 1952, Pemerintah Indonesia, WHO, dan UNICEF
menandatangani persetujuan untuk memulai program percontohan dan latihan
pemberantasan penyakit tuberkulosis.
MALARIA
Sebelum Perang Dunia II, usaha
pemberantasan Malaria dilakukan dengan sistem pemberantasan sarang nyamuk, dengan
membersihkan genangan air atau menyemprot air dengan minyak tanah. Seusai Perang
Dunia II, ditemukan obat DDT yang dapat digunakan sebagai pembunuh serangga (insektisida
dengan sistem penyemprotan rumah-rumah). Pemberantasan malaria dilakukan dengan
dua upaya, yaitu preventif dengan pengendalian vektor penyakit (nyamuk) dan
pengobatan penderita sebagai upaya kuratif, dan sampai saat ini untuk
memberantas penyakit malaria belum diketemukann vaksinnya, sehingga penyakit
ini menjadi salah satu penyakit menular yang sulit diberantas.
Pemberantasan ditandai dengan
dilakukannya penyemprotan DDT pertama oleh Presiden Soekarno pada 12 November
1959, di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan pebasmian ini, meliputi :
1. Penyemprotan
rumah di seluruh Jawa, Bali, dan Lampung, selama tahap attack;
2. Penemuan
penderita secara aktif dan pasif serta pengobatanradikal terhadap yang positif
pada bagian akhir tahap attackdan tahap konsolidasi;
3. Penyelidikan
entomologi
4. Penataran
tenaga.
5. Dengan
demikian, 12 November ditetapkan sebagai
HARI KESEHATAN NASIONAL, yang
kini diperingati setiap tahun.
FRAMBUSIA
Sebelum Perang Dunia II, upaya
pemberantasan penyakit frambusia dilakukan dengan cara pemberian suntikan neosalvarsan.Upaya
yang dilakukan oleh dr. Kodiyat. Upaya pemberantasan frambusia telah dikenal
luas dengan istilah ”Treponematosis Control Program”.
KUSTA
Meski penyakit Kusta tidak menyebabkan
kematian, namun penyakit ini cukup menimbulkan dampak sosial, karena
menimbulkan leprofobia di kalangan masyarakat. Untuk mengatasinya, maka
didirikan rumah sakit khusus kusta, sebagai upaya pemberatasan dengan pola
perawatan penderita. Lembaga Kusta
Kementerian Kesehatan melakukan penelitian, pendidikan, usaha koordinasi, serta
mencari cara pemberantasan yang tepat. Lembaga tersebut meliputi laboratorium,
klinik, poliklinik pusat dan poliklinik pembantu, Leproseri Tangerang dan
Lenteng Agung, serta Pusat Epidemiologi di Desa Wates Bekasi.
FILARIASIS
Filariasis, yang juga disebut penyakit
kaki gajah merupakan penyakit rakyat yang erat kaitannya dengan kebersihan
perorangan, higiene, serta sanitasi lingkungan. Di Indonesia, penyebab panyakit
ini adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, sejenis cacing (mikrofilaria)
yang menyerang saluran kelenjar limpa dan funiculus spermaticus,
sehingga penderita mengalami kecacatan di bagian anggota tubuh, seperti kaki.
Penyakit ini menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia
dengan
penularan melalui perantaraan nyamuk, terutama species culex dan spesies
mansonia.
POLIOMYELITIS
Poliomyelitis merupakan penyakit menular
yang disebabkan oleh virus polio. Penyakit ini penyebab cacat tubuh pada anak,
sehingga mengalami kelumpuhan.
PEMBERANTASAN PENYAKIT
ERA PEMBANGUNAN NASIONAL (1966 – 1975)
PERIODE DITJEN P3M
Menteri Kesehatan, Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (Ditjen P3M) mempunyai tugas
pokok melaksanakan sebagian tugas pokok Departemen Kesehatan di Bidang
Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Pemberantasan Penyakit Menular
Langsung, Epidemiologi dan Imunisasi, serta Higiene Sanitasi. Untuk
menyelenggarakan tugasnya, Ditjen P3M yang saat itu dipimpin oleh dr. Adhyatma,
MPH, mempunyai fungsi:
a. Ditujukan
untuk mematahkan rantaipenularan. Untuk itu, cara yang dilakukan adalah dengan Perumusan
kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan danmpembinaan serta pemberian
perijinan di bidangpemberantasan penyakit menular dan higiene Sanitasi
sesuaidengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh MenteriKesehatan dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Pelaksanaan
pemberantasan penyakit menular dan HigieneSanitasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yangberlaku
c. Pemberantasan
penyakit menular dan higiene sanitasi,sesuai pengamanan teknis atas pelaksanaan
tugas pokokDitjen P3M dalam kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri
d. Kesehatan
dan berdasarkan peraturan perundang-undanganyang berlaku.
e. Pada
era Pembangunan Nasional (Pelita), pemberantasan penyakit menular menghilangkan
sumber atau pembawa penyakit, mencegah adanya hubungan dengan penyebab
penyakit, serta memberi kekebalan kepada penduduk.
Pemberantasan penyakit pada Pelita I
ditentukan atas dasar beberapa pertimbangan, sebagai berikut.
1. Perjanjian
luar negeri, seperti International HealthRegulation (IHR), yang
dituangkan dalam Undang-undangKarantina (cacar, kolera, dan pes)
2. Penyakit
yang menjadi masalah kesehatan rakyat dan telahdiketahui cara efektif
pemberantasannya, seperti malaria,tuberkulosis, kusta, frambusia, dan penyakit
kelamin;
3. Penyakit
lain yang timbul sebagai wabah dan diperlukanpengambilan tindakan, seperti
penyakit antraks, demamberdarah, serta penyakit lain yang memerlukan survei,
studi,dan percobaan pemberantasan untuk menyiapkan carapenanggulangannya
(Filariasis, Schistosomiasis, dan Cacingtambang.
permasalahan yang timbul di daerah harus
diselesaikan secara tepat dan cepat, dengan melakukan:
1. Penelitian
keadaan penyakit dan pola penyebarannya (epidemiological surveilance);
2. Pembangunan
unit pengamatan (surveillance unit);
3. Pemeriksaan
laboratorium;
4. Kekarantinaan
dengan cara meningkatkan pencegahan masuk/keluarnya penyakit menular ke/dari
luar negeri;
5. Higiene
dan Sanitasi, dengan cara perbaikan persediaan air minum pedesaan dalam usaha
pemberantasan/pencegahan penyakit, seperti kolera)
6. Mendidik
masyarakat untuk membiasakan diri untuk hiduphigienis.
MALARIA
Kebijakan pokok pemberantasan malaria
pada era ini adalah melaksanakan pemberantasan agar malaria tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Untuk itu, penyemprotan dilakukan terhadap 8,6
juta rumah di sumber penularan, penemuan penderita secara pasif dan aktif,
pengobatan 32,6 juta penderita, serta melatih puluhan ribu tenaga pemberantasan
malaria.
DEMAM
BERDARAH
Usaha pemberantasan penyakit demam
berdarah meliputi 3 bidang, yaitu surveilance, pengobatan penderita, dan
pemberantasan.Di bidang pemberantasan, dilakukan kegiatan penyemprotan
menggunakan Malathion, percobaan aplikasi abate terhadap 115 ribu rumah,
dan peniadaan sarang nyamuk melalui penyuluhan kesehatan terhadap 2,4 juta
rumah.
FILARIASIS
DAN SCHISTOSOMIASIS
Dalam rangka pemberantasan penyakit
Filariasis dan Schistosomiasis telah dilakukan mirofilaria, survei di 10
Kabupaten. Untuk meningkatkan
pemberantasan penyakit ini, pada 3 Februari 1975 diadakan Penataran Tenaga
Pimpinan/Pelaksana Pemberantasan Filariasis di Sikka, Nusa Tenggara Timur
(NTT).
RABIES
Pemberantasan penyakit rabies telah
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan pemberian vaksin anti rabies
kepada hewan, perbaikan sistem pelaporan dan pencatatan, serta peningkatan
kesadaran dan kerjasama yang baik dari para petugas. Cara tersebut membuahkan
hasil yang cukup baik, dimana dilaporkan adanya penurunan jumlah orang yang
digigit hewan dan permintaan pengobatan/vaksinasi.
TUBERKULOSIS
Pada Pelita I, fokus pemberantasan
penyakit paru-paru adalah dengan menurunkan tuberkolusis incidente. Pemberantasan
dilakukan dengan cara pemberian suntikan BCG kepada semua anak umur 0–14 tahun.
Saat itu, vaksinasi mencakup sekitar 38 juta anak Indonesia. Daerah Jawa dan
Bali berhasil mencapai 80% dari target, sedangkan daerah lainnya mencapai
sekitar 51%.
PES
Pengamatan terhadap penyakit pes pada
era ini tidak menemukan gejala-gejala yang mencurigakan akan timbulnya
kasus/wabah.
KOLERA
Guna memberantas penyakit kolera,
pemerintah menitikberatkan usaha tersebut menitikberatkan usaha pengobatan dini
secara tepat. Hasilnya, case fatality rate (CFR).
FRAMBUSIA
Sejak tahun 1951, sistem Treponematis
Control Program Simplified (TCPS) guna memberantas penyakit frambusia telah
mencapai banyak keberhasilan.
KUSTA
Keberhasilan program pemberantasan
penyakiy kusta ini telah mengalirkan bantuan hibah Sasakawa Foundation, Jepang.
Bantua hibah ini sangat berguna untuk pengembangan rumah sakit kusta di
Tanggerang dan Sulawesi Selatan.
CACAR
Dalam usaha pemberantasan penyakit
cacar, Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan peningkatan pengamatan dan
pemberian kekebalan penyakit cacar kepada 1/3 penduduk Indonesia. Pemerintah juga mengambil kebijakan lain
dengan ikut serta dalam Global Smallpox Eradication Program (SEP) pada
tahun 1967. Indonesia mulai mengalami banyak kemajuan dalam pemberantasan
penyakit cacar, hingga dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada 25 April 1974.
PENYAKIT
KELAMIN
Upaya pemberantasan penyakit kelamin
telah dilakukan di 139 kabupaten pada tahun 1973 – 1974. Hasilnya, ditemukan
100 ribu penderita. Untuk itu, segera dilakukan pencegahan terhadap 20 ribu
sumber penularan. Kebijakan yang dilakukan pada Pelita I guna memberantas
penyakit ini adalah sebagai berikut.
1. melaksanakan
penemuan penderita
2. melanjutkan
penyuntikan seminggu sekali
3. meningkatkan
pendidikan kepada masyarakat tentang penyakit kelamin
4. mengembangkan
cara pemberantasan gonorrohoea.
EPIDEMIOLOGI
DAN KARANTINA
Dalam usaha pemberantasan penyakit, maka
dilakukan pengamatan epidemiologi, imunisasi, serta karantina kesehatan
pelabuhan/haji. Beberapa hal yang dilakukan, antara lain:
1. Penyempurnaan
(pembaruan dan penyederhanaan) dalam sistem pelaporan pada Mei 1975
2. Pemberian
vaksinasi cacar dan BCG kepada sekitar 8 jutaanak, sebagai usaha pemberantasan
penyakit cacar dan Tuberkulosis paru-paru
3. Penyempurnaan
tiga kantor Dinas Kesehatan Pelabuhan(DKP), yaitu dengan penyediaan alat-alat medik,
higiene dansanitasi di delapan DKP, serta peningkatan usaha karantinahaji.
HIGIENE
DAN SANITASI
Sebagai usaha higiene dan sanitasi, maka
dilakukan beberapa hal, sebagai berikut.
1. Pencegahan
pencemaran lingkungan di 10 kotamadya dari 10 provinsi
2. Pengangkatan
85 tenaga penilik kesehatan dan 245 sanitarian
3. Lokakarya
Pengurusan dan Pemeliharaan Sarana Air MinumPedesaan, yang diikuti 30 orang
peserta dari 13 provinsi.
PERIODE DITJEN PPM & PLP
Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP)
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas pokok. Departemen Kesehatan
di bidang pemberantasan penyakit bersumber binatang, pemberantasan penyakit
menular langsung, epidemiologi dan imunisasi, serta penyehatan lingkungan
pemukiman dan penyehatan air. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Ditjen PPM
& PLP mempunyai fungsi:
a. Perumusan
kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan danpembinaan serta pemberian
perijinan di bidangpemberantasan penyakit menular dan penyehatanlingkungan
pemukiman sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
dan berdasarkanperaturan perundang-undangan yang berlaku
b. Pelaksanaan
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan pemukiman berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
c. Pengamanan
teknis atas pelaksanaan tugas pokok Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular danPenyehatan Lingkungan sesuai dengan kebijaksanaan yangditetapkan
oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkanperaturan perundang-undangan yang
berlaku.
INPRES
SAMIJAGA
Guna mempercepat akses masyarakat akan
kebutuhan sanitasi dasar, seperti air minum dan jamban keluarga yang memenuhi persyaratan
kesehatan, maka mulai tahun 1974 pemerintah menetapkan kebijakan Inpres
Samijaga (sarana air minum dan jamban keluarga). Inpres ini memberikan bantuan
pembangunan sarana air bersih dan jamban keluarga bagi masyarakat serta
penempatan tenaga kesehatan, seperti tenaga dokter dan sanitarian di puskesmas guna
meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat, khususnya di bidang
kesehatan lingkungan. Di samping pembangunan saranan sanitasi tersebut, Inpres Samijaga
juga memberikan bantuan pembangunan sarana kesehatan, seperti gedung puskesmas
dan puskesmas keliling, dengan segala fasilitas lainnya yang berhubungan dengan
kegiatan pembangunan sarana air minum dan jamban keluarga.
P4D
Pemberantasan penyakit diare di
Indonesia dimulai sejak Repelita III (1981), sebagai kelanjutan kegiatan
penanggulangan penyakit kolera dan gastroenteritis (1978).Di samping tingginya
angka kesakitan, penyakit ini juga sering menimbulkan KLB yang disertai dengan
kematian. Untuk memberantas penyakit itu, pemerintah mengembangkan Program
Pemberantasan Penyakit Diare (P4D) di seluruh puskesmas, dengan tujuan
memperluas cakupan pelayanan penderita, terutama pelayanan melalui posyandu,
sebagai upaya tatalaksana penderita diare di sarana kesehatan dan masyarakat.
Dengan dilaksanakannya tatalaksana tersebut dengan cepat dan tepat, angka
kematian akibat diare dapat diturunkan, terutama saat terjadi KLB.
PENGEMBANGAN
PROGRAM IMUNISASI
Pengembangan Program Imunisasi (PPI)
dimulai pada era tahun 70-an. Program ini bertujuan mempercepat pencapaian
sasaran program imunisasi guna mencegah penyebaran penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Awalnya, program ini baru mencakup pemberian vaksinasi BCG. Seiring
dengan waktu, selanjutnya program diperluas terhadap vaksinasi dasar, seperti
DPT, polio, TT, dan campak.
ERADIKSI
POLIOMYELITIS
Poliomyelitis merupakan penyakit menular
yang dapat menyebabkan kecacatan bagian tubuh, seperti kaki, sehingga penderita
mengalami kelumpuhan.Pada era tahun 1980, pemerintah mengembangkan Program
Imunisasi yang diprioritaskan bagi bayi dan anak balita. Melalui gerakan Pekan
Imunisasi Nasional (PIN) diharapkan penyakit ini tidak ditemukan lagi di
wilayah Indonesia.Untuk mensukseskan program ini, Pemerintah menjadikan program
ini sebagai gerakan nasional, yang dikenal dengan Pekan Imunisasi Nasional
(PIN). Dengan gerakan nasional ini, diharapkan penyakit poliomylities dapat
diberantas. Namun pada tahun 2005, penyakit ini ternyata muncul kembali di
Sukabumi, Jawa Barat, yang diperkirakan berasal dari Afrika.
DEMAM
BERDARAH DENGUE
Pada tahun 1968, penyakit Demam Berdarah
Dengue (dengue haemorraghic fever) mulai berjangkit di Indonesia.
Awalnya,penyakit tersebut berjangkit di Surabaya, kemudian menyebar ke
berbagai wilayah, seperti Semarang, Jakarta, Palembang. menimbulkan
wabah.Sampai saat ini seluruh wilayah di Indonesia telah terjangkit penyakit
ini, dan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue serta disebarkan dengan
perantaraan nyamuk aedes aegypti ini sulit diberantas karena terkait erat
dengan perilaku masyarakat dan kesehatan lingkungan.
FILARIASIS
Penyakit Filariasis atau kaki gajah
merupakan penyakit rakyat yang erat kaitannya dengan
kebersihan perorangan, higiene, serta sanitasi lingkungan. Di Indonesia, Wuchereria
bancrofti dan Brugia malayi dikenal sebagai penyebab panyakit ini,
dengan penyebaran hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pemberantasan filarisis
di Indonesia menggunakan obat Diethyl Carbamazize Citrae (DEC), yang
sangat efektif dalam membunuh microfilaria maupun macrofilaria.
SCHISTOSOMIASIS
Schistosomiasis adalah penyakit
parasitik akibat infeksi cacing Schistosoma, dengan gejala klinis awal
gatal-gatal saat serkaria masuk ke dalam
kulit. Terdapat empat spesies cacing Schistosoma yang menjadi parasit pada
manusia yaitu Schistosoma haematobium, Schistosoma mansonni, Schistosoma
japonicum, Schistosoma mekongi. Penyelidikan epidemiologi Schistosomiasis
dilakukan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu berdasarkan jenis penyebaran
schistosomiasis di dunia, manivestasi klinis, dampak sosio ekonomi, dan
pemberantasan.
PEMBERANTASAN PENYAKIT
ERA REFORMASI (2000 – 2007)
PERIODE DITJEN PPM & PLP – DITJEN PP & PL
Berbagai penyakit baru yang dikenal
dengan istilah New-emerging Diseases pun turut berkembang, seperti
penyakit Severe Accute Respitory Syndrome (SARS), Avian Influenza (flu
burung), Meningitis Meningokokus, serta penyakit zoonosis lain (Hanta virus,
Nipah Virus). Untuk itu diadakan perubahan nama Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM
& PLP) menjadi Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PP & PL).
KANTOR KESEHATAN PELABUHAN
Dengan berkembangnya zaman, urusan
kekarantinaan dilaksanakan dalam dinas Kesehatan Pelabuhan, baik laut maupun
udara, sesuai dengan International Sanitary Regulation dari WHO.
Dengan berkembangnya zaman, urusan kekarantinaan dilaksanakan dalam dinas
Kesehatan Pelabuhan, baik laut maupun udara, sesuai dengan International
Sanitary Regulation dari WHO.
BTKLPPM
Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pemberantasan Penyakit Menular (BTKLPPM) merupakan salah satu UPT di lingkungan
Ditjen PP & PL, yang bergerak di Bidang Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pemberantasan Penyakit Menular. BTKLPPM
bertugas sebagai pelaksana surveilans epidemiologi, kajian dan penapisan
teknologi, laboratorium rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan
pelatihan, pengembangan model dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan penanggulangan
KLB/Wabah dan bencana di bidang pemberantasan penyakit menular dan kesehatan
lingkungan serta kesehatan matra.
RSPI PROF. DR. SULIANTI SAROSO
Pada tahun 1958, Stasiun Karantina
(pindahan dari Pulau Onrust Kuiper) didirikan di daerah Pelabuhan Tanjung
Priok. Fungsinya, untuk menampung penderita penyakit karantina dari kapal. Di
tahun 1964, Stasiun Karantina juga difungsikan sebagai tempat menampung
penderita penyakit cacar dari Jakarta dan sekitarnya, yang berjumlah sekitar
2.358 orang. Namun sejak Indonesia dinyatakan bebas cacar pada tahun 1972,
kegiatan pun berkurang, sehingga pada 28 April 1978, Stasiun Karantina berubah
fungsi menjadi Rumah Sakit Karantina. Rumah Sakit Karantina mempunyai tugas
menyelenggarakan pelayanan, pengobatan, perawatan, karantina dan isolasi serta pengelolaan
penyakit menular tertentu. Dalam perjalanannya, rumah sakit ini tidak hanya merawat
penderita penyakit wabah, tetapi juga penyakit menular atau infeksi lainnya. Selain
itu, RSPI-SS juga menjalankan fungsi sebagai:
a. pelaksana
rujukan nasional di bidang penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya;
b. penatalaksanaan
penyakit infeksi menular lainnya
c. penelitian
klinik dan epidemiologi penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya
d. pelaksanaan
sistem kewaspadaan dini, penanggulangan wabah/kejadian luart biasa (KLB);
e. pendidikan
dan pelatihan di bidang penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya
f. penelitian
dan pengembangan di bidang penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya
g. pengelolaan
sistem informasi penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya.
h. Beberapa
tahun terakhir, RSPI-SS telah menunjukkan kemampuannya dalam upaya
penanggulangan penyakit infeksi maupun penyakit lainnya, seperti Diare,
HIV/AIDS, Tifoid, Salmonellosis, KLB Demam Berdarah, KLB SARS, KLB Polio, dan KLB
Flu Burung.
PERIODE DITJEN PP & PLPERIODE
Perubahan nomenklatur Ditjen P2M dan PL
menjadi Ditjen PP & PL atas dasar Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 9 tahun 2005 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I
Kementerian Negara Repbulik Indonesia dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :
1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
Sebagai upaya pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tersebut, Ditjen
PP & PL telah menyusun dan melaksanakan berbagai program.
PROGRAM
IMUNISASI
Imunisasi
telah diakui sebagai upaya pencegahan penyakit paling efektif dan berdampak
terhadap peningkatan kesehatan
masyarakat. Namun,pemberian imunisasi mempunyai resiko adanya kejadian ikutan pasca imunikasi(kipi).kegiatan
imunisasi rutin meliputi pemberian
imunisasi kepada umur 0-1 tahun (BCG,DPT,POLIO,CAMPAK,HB),Imunisasi kepada wus/bumil(TT),dan imunisasi kepada anak sd.kegiatan imunisasi tambahan
dilakukan atas dasar di temukannya masalah,seperti desa non
UCI,potensial/risti KLB, Di temukan adanya virus polio liar.
KUSTA
Berdasarkan
catatan WHO, Indonesia saat ini masih menjadi
salah satu negara penyumbang penyakit kusta terbesar di dunia.Meskipun
Indonesia telah mencapai Eliminasi Kusta pada
pertengahan
tahun 2000, namun penyakit ini masih menjadimasalah kesehatan yang cukup besar.
Sampai akhir tahun 2005,14 provinsi dan 155 kabupaten di Indonesia belum
mencapai
eliminasi.
FRAMBUSIA
Penderita Frambusia banyak ditemukan di
wilayah timurIndonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan
SulawesiTenggara. Sedangkan di wilayah barat, ditemukan di NAD, Jambi,Banten,
dan Jawa Timur. Wilayah-wilayah itu dikenal sebagai”kantong
Frambusia”.lingkungan yang kurang menguntungkan serta tempattinggal di daerah
pedalaman membuat penderita Frambusia sulit mendapatkan pelayanan kesehatan.
Untuk menjangkau daerah daerah kantong Frambusia yang tersebar di beberapa
provinsi dan kabupaten di Indonesia, maka pada tahun 2000 mulai dilakukan
survei daerah kantong Frambusia. Sejak saat itu sampai dengan tahun 2005,
sejumlah 17.085 kasus dan kontak telah ditemukan serta diobati.
MALARIA
Kebijakan program pemberantasan penyakit
malaria menggunakan strategi penegakkan diagnosa kasus dengar konfirmasi
laboratorium,yang di kenal dengan istilah
Annual Parasite Incidence (API).
DEMAM
BERDARAH DENGUE
Metode tepat guna untuk mencegah DBD
adalah dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui 3M plus (menguras,
menutup, dan mengubur) plus menabur larvasida, penyebaran ikan pada tempat
penampungan air, serta kegiatan lainnya yang dapat mencegah/memberantas nyamuk
Aedes berkembang biak.
DEMAM
CHIKUNGUNYA
Demam chikungunya adalah suatu penyakit
menular dengan gejala utama demam mendadak, nyeeri pada persendiaan terutama
lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan, serta tulang belakang yang disertai
ruam pada kulit.
ISPA
ISPA termasuk Pneumonia, sering kali
disebut sebagai wabah raya yang terlupakan atau The Forgetten Pandemic, kaena
kurangnya perhatian organisasi internasional terhadap penyakit ini. Upaya yang
dilakukan lebih dari sepuluh tahun yang lalu, belum juga menemukan intervensi
yang efektif untuk mengatasi penyakit ini.
TUBERKULOSIS
Pengembangan program pengendalian TBC
dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse Chemotheraphy)
sampai dengan tahun 2005 telah dilaksanakan diseluruh provinsi di indonesia.
Hasilnya tercapai penurunan insiden kasus menular, yaitu dari 130/100.000
penduduk (WHO-1995) menjadi 170/100.000 penduduk.
HIV/AIDS
DAN PMS
Pada desember 2003, WHO menetapkan
kebijakan “Three By Five Initiative” yaitu target gelobal akses pengobatan Anti
Retro Viral (ARV) terhadap tiga juta ODHA pada tahun 2005. Berdasarkan
kebijakan itu, menkes menetapkan target, bahwa sepanjang tahun 2005 sebanyak 10
ribu ODHA telah mendapatkan aksesbilitas pengobatan ARV.
DIARE
Selain angka kesakitan yang masih tinggi,
penyakit diare juga sering menimbulkan KLB dengan tingkat CFR yang juga tinggi.
Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 diperoleh angka
kematian diare (semua umur) 23 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada Balita, 75
per 1000.000 penduduk.
Salah satu upaya menurunkan kematian
akibat diare adalah dengan tatalaksana yang tepat dan cepat. Upaya ini
dilakukan dengan mengadakan pelatihan petugas terintegrasi dengan pelatihan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), serta pengamatan tatalaksana diare di
puskesmas sentinel.
KECACINGAN
Untuk
mempercepat penurunan prevalensi cacingan pada anak sekolah dasar, kegiatan
intervensi berupa penyuluhan kesehatan bagi murid SD dilakukan oleh para guru
di sejumlah SD, yang tersebar di lima provinsi. Sosialisasi materi
pemberantasan penyakit kecacingan diberikan kepada para guru, agar mereka
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih tentang penyakit ini. Bahan
materi, berupa poster pencegahan cacingan dan lembar balik cacingan, juga
diberikan sebagai alat penunjang kegiatan.
FILARIASIS
Hingga saat ini, Filariasis masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hasil mapping yang
dilakukan sampai tahun 2004 menggambarkan adanya kasus kronis yang mencapai jumlah
8.243 orang, yang tersebar di 30 provinsi. Untuk itu, Indonesia melaksanakan
Program Eliminasi Filariasis atas dasar kesepakatan Global WHO tahun 2000,
yaitu “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a
Public Health Problem the year 2020”, yang merupakan realisasi dari resolusi
WHA pada tahun 1997.
FILARIASIS
Langkah pemberantasan ditujukan pada
cacing Schistosoma japonicum (host), keong Oncomelania hupensis
lindoensis (hospes perantara), manusia, dan hewan mamalia (hospes definitif),
dan lingkungan fisik maupun biologis. Schistosomiasis tidak mungkin
dieradiksi. Oleh karena itu, tujuan program pemberantasan Schistosomiasis
adalah eliminasi, supaya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
FLU
BURUNG
Flu
burung atau avian influenza adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
virus influenza tipe A. Di indonesia, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada
agustus 2003. Flu burung menular dari unggas ke unggas, dan dari unggas ke
manusia. Penyakit ini menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal
dari kotoran atau sekreta burung/ unggas yang menderita flu burung.
SARS
Kasus SARS (Severe Acute Respiratory
Syndrome) atau Sindrom Pernapasan Akut Berat, pertama kali ditemukan di
Provinsi Guangdong (Cina) pada November 2002. Saat itu, WHO menyebut penyakit
ini sebagai Atypical Pneumonia atau Radang Paru Atipik. Kemudian pada 11 Maret 2003, WHO kembali
mengumumkan adanya penyakit baru yang menular sangat cepat di Hongkong,
Singapura, dan Vietnam. Belum diketahui apakah penyakit ini sama dengan Atypical
Pneumonia yang berjangkit di Guangdong. Pada April 2003, barulah WHO
memastikan bahwa Atypical Pneumonia di Guangdong adalah SARS.
Untuk itu, Direktur Jenderal WHO menyatakan bahwa SARS adalah ancaman global
atau Global Threat.
Pertimbangan
WHO menyatakannya sebagai ancaman global, karena SARS merupakan penyakit baru
yang belum dikenal penyebabnya dan menyebar secara cepat melalui alat angkut
antar negara, terutama juga menyerang tenaga kesehatan di
rumah
sakit.
KESEHATAN
HAJI
Sejak tahun 2001, kasus Meningitis pada
jemaah Haji Indonesia telah menunjukan penurunan angka, bahkan di tahun 2004
tidak ditemukan adanya kasus. Sedangkan untuk meminimalisir jemaah haji yang
meninggal karena risiko penyakit kardiovaskuler/jantung dan paru, maka
pembinaan jemaah haji risiko tinggi terus dilakukan, dengan cara sosialisasi
manajemen risiko ke daerah-daerah di wilayah Indonesia. Kerjasama berbagai
sektor terkait juga terus dilakukan, sebagai upaya peningkatan kesiapsiagaan,
deteksi dini, serta respon kejadian luar biasa (KLB).
informasinya sangat membantu, terimakasih. gluck
BalasHapus